03 August 2009

KEPUTUSAN MA TELAH MENGUBAH WARNA PEMILU

Bahwasanya keputusan Mahkamah Agung harus dilaksanakan semuanya mahfum. Keputusan peradilan yang harus kita hormati. Namun, bila disimak lebih jauh, apa yang dilakukan oleh MA dengan merevisi Keputusan KPU tentang penetapan perolehan kursi partai peserta pemilu karena bertentangan dengan UU No.10/2008 terutama pasal 205 ayat (4), mempunyai dampak luas dan luar biasa. Warna pemilu legislatif 2009 akan berubah.


Apa yang dilakukan MA atas uji materi keputusan KPU terhadap UU No.10/2008 secara hukum sangat benar. Pasal 205 ayat (4) memang berbunyi :............memperoleh suara sekurang-kurangnya 50% dari BPP. Padahal yang dimaksud oleh sang pembuat UU kalimat tersebut seharusnya berbunyi : ............memperoleh sisa suara sekurang-kurangnya 50% dari BPP. Tertinggalnya penulisan kata sisa dalam ayat tersebut ternyata berdampak besar. Kalau pendukung putusan MA mengatakan bahwa MA tidak mengutik-utik masalah perolehan kursi, juga ada benarnya. Namun yang dilupakan adalah dampak. Jadi sangat janggal bila masalah penelaahan ini hanya dikaitkan pada amar putusan itu an sich.


Masalah UU pemilu tidak hanya dapat ditelaah melalui masalah hukum semata. Dalam UU tersebut berbaur pelbagai aspek, mulai dari hukum tata negara, ilmu pemilu hingga kemasalah matematika pemilu. Kesemua aspek ini tidaklah dapat berdiri sendiri-sendiri. Mereka merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan begitu saja. Dengan demikian seharusnya MA juga mempertimbangkan aspek lain. Perbedaan antara yang tersurat dan tersirat. Kalau MA memang masih dianggap satu badan peradilan yang mampu bersikap adil.


Dalam UU pemilu jelas terungkap bahwa sistem pemilu legislatif 2009 yang dianut adalah proporsional terbuka (pasal 5 ayat (1)). Ini artinya sistem tersebut mengakomodir multi partai. Hal ini sesuai dengan jiwa UU tersebut yang masih menganut paham untuk mengakomodir segala lapisan agar terwakilkan di legislatif meskipun terbatas karena adanya ambang batas perolehan suara secara nasional bagi seluruh peserta pemilu yaitu sebesar 2,5% (pasal 202 ayat (1)). Ambang batas ini, kalau dihitung secara matematis akan mengharuskan peserta pemilu untuk memperoleh suara minimal 4.725.000 suara dari 171 juta pemilih terdaftar. Perolehan suara tersebut akan menjadi lebih kecil lagi bila dikurangkan dengan suara sah (pemilih terdaftar dikurangi pemilih yang tidak menggunakan hak dan suara tidak sah).


Bangsa Indonesia yang terdiri dari pelbagai macam suku, agama dan paham politik diharapkan dapat memiliki wakilnya melalui partai-partai peserta pemilu, untuk duduk di Senayan menyuarakan aspirasi mereka. Ini jiwa yang ada pada setiap pasal dalam UU tersebut.


Dengan menjauhi sistem distrik, diharapkan bahwa sistem proporsional masih memungkinkan kelompok minoritas memiliki wakilnya di DPR. Sistem proporsional memberikan kesempatan bagi partai kecil sekalipun asal lolos dulu ambang batas perolehan suara. Sistem ini membuka peluang perolehan kursi yang proporsioal dibandingkan dengan perolehan suara. Berbeda dengan sistem distrik yang mematok mayoritas sebagai dasar perhitungan perolehan suara.


Perbedaan yang mendasar bagi kedua sistem adalah bahwa sistem proporsional mengenal bilangan pembagi pemilihan (BPP) sebagai dasar metode penghitungan dan sistem distrik tidak mengenal BPP. UU no. 10/2008 dengan jelas mencantumkan BPP, baik dalam bab Ketentuan Umum maupun pasal-pasal lain dalam UU, sehingga UU tersebut sebenarnya dengan jelas menganut metode kuota (metode penghitungan kursi dengan BPP) untuk mensinkronisasikan antara sistem dan metode.


Sistem dan metode memang harus sinkron. Bila tidak, maka akan terjadi ketidak seimbangan dan ketidak jelasan terhadap sistem yang dianut dan ini jelas-jelas merupakan pelanggaran terhadap kaidah ilmu pemilu.


Bila MA ngotot bahwa keputusan mereka adalah tepat, maka secara tidak langsung MA juga harus bertanggung jawab atas amburadulnya pemilu legislatif 2009. MA telah mengaburkan makna pemilu itu sendiri, disamping telah mengadakan perbuatan pembohongan ilmu kepada bangsa ini. Pembohongan dengan memutar balikkan kaidah pemilu dengan mengatas namakan hukum adalah satu tindakan yang tidak fair dan tidak bijak. Keputusan MA agar KPU merevisi keputusannya yang nota bene dianggap bertentangan dengan bunyi UU, akan berakibat pada berubahnya metode yang menjiwai UU itu sendiri. Penghitungan tahap II yang dimaksudkan oleh MA merupakan derivatif dari metode penghitungan kursi tanpa mengenal BPP. Metode ini jelas bertentangan dengan jiwa UU dan lebih mengarahkan penghitungan kursi gaya mayoritas. Lantas bagaimana dengan bunyi UU yang mengaksep sistem proporsional? Bukankah ini sangat bertentangan?


Campur aduk metode dan sistem akan merusak pemilu itu sendiri. Pemilu harus memiliki konsep sistem dan metode yang akan dianut. Tidak ada dalam kamus ilmu pemilu, satu sistem menganut 2 metode.


Apa yang telah diputuskan oleh KPU terasa melegakan tapi belum memuaskan. Melegakan karena KPU tidak serta merta melaksanakan keputusan MA, tapi lebih membiarkan keputusan mereka sendiri gugur dengan sendirinya setelah 9 hari sejak diputus oleh MA. Belum memuaskan, karena KPU hanya melihatnya dari kaca mata celah hukum semata. Seharusnya KPU sebagai lembaga yang kapabel juga harus menyanggahnya dari sisi ilmu pemilu. Bila ini dilakukan maka KPU secara langsung maupun tidak akan memberikan pencerahan bagi bangsa ini, termasuk kepada para pendukung keputusan MA, yang maaf, mungkin tidak mengerti masalah ini secara mendalam. Persoalan hanya lebih kepada ketidak puasan karena tidak memperoleh kursi dan menggunakan celah hukum untuk pemuas diri. Tapi dampaknya secara sosial politis tidak dihiraukan sama sekali. Dan ini merupakan letupan awal instabilisasi politik. Kalaulah ini yang terjadi, apakah pemohon uji materi atau MA mampu meredam ketidak stabilan politik akibat keputusan MA? Bukankah yang terkena dampak adalah partai-partai menengah yang berbasis Islam? Atau memang semua akibat ini tidak terpikirkan?


Hulu dari permasalahan ini semua adalah ketidak beresan pembuatan UU pemilu oleh DPR periode 2004-2009. DPR-lah yang paling bertanggung jawab atas hilangnya kata sisa dalam pasal 205 ayat (4). Namun tak ada anggota DPR yang bersuara. Kalaupun ada hanya sebatas suara pribadi. Dan dosanya seolah harus ditanggung oleh KPU sendiri. Padahal KPU hanyalah pelaksana. Dan lucunya MK-pun memutus perkara sengketa pemilu dengan dasar metode yang ditetapkan KPU.


Namun demikian, apapun juga yang telah dilakukan oleh MA, MA telah merubah warna politik melalui keputusan uji materi terhadap keputusan yang dianggap tidak sesuai dengan UU. Kalau awalnya MK menampar DPR dengan membatalkan beberapa pasal dalam UU, kini MA membuka lagi jenis borok UU pemilu. Seolah tak habis-habisnya borok UU hasil karya anggota DPR 2004-2009. Belum lagi alokasi kursi dapil yang menyalahi UU. Sayangnya tak ada yang menggubris ataupun menguji materikan hal tersebut.


Pelajaran yang sangat berharga bagi wakil-wakil rakyat terpilih. Kalaulah anda salah satu yang terkena dampak putusan MA tapi atas ketegaran KPU anda dapat duduk di Senayan, maka saat perubahan UU pemilu nanti, pengalaman yang membuat anda jantungan berminggu-minggu akan membuat anda akan lebih berhati-hati. Semoga tidak terjadi lagi. Salam


22 June 2009

KEPUTUSAN MK, KEPUTUSAN SETENGAH HATI

Amar putusan MK atas gugatan 5 partai yaitu PAN, Golkar, PPP, Gerindra dan PKB mengenai metode penghitungan suara tahap III, masih akan menyisakan keruwetan. Meskipun MK dalam 5 poin putusannya jelas menyatakan bahwa penerapan pasal 205 ayat (5), ayat (6) dan ayat (7) UU No.10/2008 oleh KPU yang tertuang dalam SK No.259/KPU/TAHUN 2009 adalah keliru dan tidak tepat menurut hukum, namun amar putusan tersebut juga tidak serta merta menyelesaikan masalah. KPU tampaknya harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan MK sebelum menjalankan perintah MK tersebut. Beberapa hal yang patut dicermati adalah bahwa "kekeliruan" KPU dalam menafsirkan UU No.10/2008 khususnya pasal 205, juga beralasan, karena UU tersebut juga tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan "seluruh sisa suara partai politik". Apakah yang dimaksud adalah seluruh sisa suara tersebut berasal dari seluruh daerah pemilihan atau hanya dari seluruh daerah pemilihan yang masih memiliki sisa kursi. UU No.10/2008 dalam penjelasannya terhadap pasal tersebut hanya berbunyi : cukup jelas.


Atas perintah UU juga KPU kemudian menuangkannya dalam peraturan No.15 tahun 2009 dan peraturan N0.26 tahun 2009, yang kemudian penerapan aturan tersebut dianggap beberapa partai sebagai satu kekeliruan dalam penafsiran untuk penetapan perolehan kursi. Dalam amar putusannya MK kemudian menyatakan bahwa penerapan pasal 205 yang benar adalah seluruh sisa suara sah partai politik yaitu suara yang belum diperhitungkan dalam tahap I dan tahap II dari seluruh daerah pemilihan provinsi (poin 3 No.3),tanpa menjelaskan berasal dari mana seluruh sisa suara sah tersebut.


Bila dicermati, kekeliruan yang ditudingkan kepada KPU berawal pada penafsiran kata seluruh daerah pemilihan dalam provinsi, yang oleh KPU ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan seluruh daerah pemilihan adalah seluruh daerah pemilihan yang masih memiliki sisa kursi. Bila kemudian mengacu kepada amar keputusan tersebut, yang juga tidak jelas, maka kemungkinan bahwa akan terjadi kekeliruan lagi sangat mungkin sekali. Yang berat adalah bahwa putusan MK tersebut bersifat final dan mengikat. Ini berarti apapun yang akan diterapkan oleh KPU sifatnya juga akan final dan mengikat.


Kalaulah MK lebih tegas dan gamblang dalam memberikan putusannya, persoalan mungkin akan lain. Terlebih lagi dalam amar putusan tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan sisa suara adalah sisa suara yang berasal dari seluruh daerah pemilihan, baik yang masih ada sisa kursi maupun yang sudah habis teralokasi. Dengan demikian tidak akan lagi ada penafsiran yang berbeda mengenai asal muasal sisa suara yang akan dikumpulkan ditingkat provinsi.


Amar putusan MK yang harus dilaksanakan oleh KPU, memang seolah bola panas yang harus diterima oleh KPU. Setidaknya KPU harus berkomunikasi lebih rinci tentang amar putusan tersebut. Salah-salah memang KPU-lah yang akan menerima caci maki berkepanjangan nantinya.


Meskipun hingga saat ini KPU belum menindak lanjuti amar putusan tersebut, beberapa partai mulai menghitung kembali perolehan kursi mereka, terutama bila yang dimaksud adalah sisa suara dari seluruh daerah pemilihan, baik yang masih ada sisa kursi maupun yang sudah terpenuhi alokasi kursinya. Akan segampang itukah bagi partai-partai yang harus kehilangan kursi akibat perubahan metode ini menerimanya? Ataukah kemudian persoalan akan berlanjut diarena lain, seperti PTUN atau MA? Semuanya masih merupakan teka-teki yang belum dapat dijawab.


Bila mau jujur melihat permasalahan ini, hingga detik ini tak ada yang mencoba mengkaji kenapa hal ini terjadi. Sumber malapetakanya tidak lain adalah ketidak jelasan UU No.10/2008 dalam memberikan aturan-aturan dalam penerapan metode penetapan perolehan kursi, terutama yang menyangkut tahap III (metode penetapan perolehan sisa kursi yang ditarik ke provinsi). Padahal penghitungan tidak berhenti pada tahap III saja, pada saat jumlah sisa suara partai ada yang mencapai BPP baru, dan masih tersisa sisa kursi yang belum terbagi habis, maka penghitungan berlanjut ketahap IV. Kekelirusan UU No.10/2008 yang tidak menjelaskan dalam penjelasannya tentang asal muasal sisa suara yang dikumpulkan berasal dari dapil mana, semakin menjelaskan bahwa UU No.10/2008 telah membuat hasil pemilu legislatif 2009 semakin runyam. Dan anehnya memang, tak ada satupun yang menggugat siapa yang layak dan patut dimintakan pertanggung jawabannya, dan DPR sebagai pembuat UU bersama pemerintah seolah bungkam. Tinggallah KPU yang menjadi kambing hitam untuk disalahkan, seolah tak becus menyelenggarakan pemilu legislatif 2009 ini. Padahal KPU adalah penyelenggara tok, tak lebih dan tak kurang.


Pengalaman ini sebenarnya merupakan tamparan keras bagi DPR atas kinerja mereka membuat UU yang seharusnya mampu memayungi semua keputusan tentang pemilu legislatif 2009. Kalaulah KPU memang dianggap bersalah, maka dosa besar patut dijatuhkan pada KPU, karena telah melanggar UU. Namun MK tampaknya juga menyadari hal ini, bahwa KPU bukan pelanggar UU. KPU hanya dianggap keliru dan tidak tepat secara hukum.


Kekeliruan demi kekeliruan akan bergulir terus, dan kini saatnya kita harus berbenah. Tugas berat bagi anggota DPR terpilih kelak untuk membenahi UU pemilu yang tidak lagi akan menjadi malapetaka bagi bangsa ini dalam melaksanakan pemilunya. Pengalaman ini hendaknya menjadi cermin bagi anggota DPR, bahwa apa yang dihasilkannya masih jauh dari harapan. Semoga.



05 June 2009

TINJAUAN ATAS RUMITNYA METODE PENETAPAN KURSI PEMILU LEGISLATIF 2009 MENJADI KENYATAAN

Apa yang pernah saya tulis tentang rumitnya metode penetapan kursi pada pemilu legislatif 2009 akhirnya menjadi kenyataan. Kerumitan terjadi terutama pada penetapan kursi tahap 3 atau yang dikenal dengan sisa kursi dan sisa suara yang ditarik ke provinsi.
Pada rapat pleno KPU untuk menetapkan perolehan kursi setiap partai dan calon terpilih, timbul pelbagai tafsir dan komentar. Kenapa hal ini bisa terjadi? Ini tidak lain disebabkan oleh pasal-pasal dalam UU No.10/2008 yang mengatur tentang metode penetapan kursi pada tahap 3 dan 4, tidak jelas. Baik pembuat UU yaitu DPR dan Pemerintah, maupun KPU sebagai pelaksana tidak pernah mengantisipasi bahwa teknis penerapan metode tersebut saat diaplikasikan, akan menjadi masalah besar pada pemilu kali ini.
Ketidak jelasan isi pasal dalam UU No.10/2008 tentang metode ini, akhirnya hanya melahirkan polemik dan fitnah. Cetro malah mengindikasikan adanya main mata antara saksi partai dan KPU dalam penentuan sisa kursi bagi partai pada satu dapil. Cetro menganggap bahwa sisa kursi dari provinsi untuk satu dapil tertentu bagi satu partai adalah hasil kompromi politik. Anggapan tersebut memang sah-sah saja, meskipun patut disayangkan bahwa lembaga sekelas Cetro berpikir sependek itu. Seandainya Cetro terlibat, bukan tidak mungkin Cetro-pun tak akan mampu menghadapi permasalahan yang timbul.
Permasalahan menjadi semakin rumit tak kala rujukan tentang verifikasi vertikal-horizontal tak ditemui penjelasan maupun asal usulnya baik dalam UU maupun peraturan KPU. Verifikasi ini justru timbul saat satu partai yang kebagian kursi sisa menyatakan bahwa kursi tersebut paling layak kedapil tertentu. UU maupun peraturan KPU hanya merujuk verifikasi horizontal, yaitu memverifikasi sisa suara partai tersebut disetiap dapil. Implikasinya adalah, saat verifikasi menyatakan bahwa sisa suara terbanyak partai tersebut pada satu dapil tertentu, maka timbul kemungkinan bahwa sisa suara tersebut bukannya sisa suara terbanyak diantara partai-partai yang memperoleh sisa kursi. Artinya timbul verifikasi kedua yaitu verifikasi vertikal. Bila verifikasi horizontal adalah perebutan secara internal, maka horizontal adalah perebutan antar partai. Inilah malapetaka yang terjadi.
Metode penetapan yang dipakai oleh KPU dalam menentukan partai yang berhak memperoleh sisa kursi akan sangat berpengaruh pada perangkingan total sisa suara yang ditarik ke provinsi. Penetapan metode yang dipakai, apakah semua sisa suara setiap partai disemua dapil tanpa mengindahkan masih ada sisa kursi atau tidak, atau hanya sisa suara pada dapil yang masih ada sisa kursi, tetap akan menemui masalah verifikasi diatas. Belum lagi bila kita membicarakan bahwa setiap metode akan mempengaruhi perankingan dan perangkingan akan mempengaruhi dapil yang memiliki kesempatan memperoleh sisa kursi serta terakhir berarti juga akan mempengaruhi caleg terpilih. Kericuhanpun meluas. Perang antar caleg yang saling klaim bahwa dialah yang paling berhak ketimbang yang lain.
Dari sini dapatlah disimpulkan bahwa metode yang termaktub dalam UU No.10/2008, tidak hanya sekedar mencari jalan keluar bagaimana agar sisa suara sebanyak mungkin dapat terkonversi menjadi kursi, tapi juga harus jelas marwah apa yang dikehendaki anggota dewan pada saat itu terhadap UU pemilu yang mereka buat. Ini juga mengindikasikan bahwa UU No.10/2008 memang asal buat. Tugas berat bagi para anggota dewan terpilih untuk berbenah, agar UU pemilu benar-benar buah karya putra terbaik, yang dipersembahkan untuk bangsanya sebagai landasan hukum dalam menegakkan pilar demokrasi yang bernama pemilu.

01 February 2009

Rumitnya Penetapan Perolehan Kursi DPR-RI

UU No.10/2008 tentang Pemilu Legislatif merupakan rujukan yang dipakai dalam menetapkan perolehan kursi DPR-RI yang diperebutkan oleh partai-partai peserta pemilu tahun 2009. Khusus untuk DPR-RI metode penghitungannya memang agak rumit, bila dibandingkan dengan metode yang dipakai pada pemilu 2004. Secara garis besarnya, ada beberapa tahapan dalam penghitungan penetapan perolehan kursi DPR-RI. Yang pertama adalah tahapan penghitungan untuk menetapkan partai-partai yang berhak untuk turut dalam pembagian kursi. Tahapan berikutnya adalah penghitungan penetapan perolehan kursi bagi partai-partai yang lolos setelah melalui tahap pertama dengan memakai metode kuota.

Tahap pertama sesuai dengan UU adalah partai peserta pemilu harus memperoleh suara minimal 2,5% dari total suara sah secara nasional (pasal 202). Partai-partai yang memperoleh dukungan suara sama dengan atau lebih dari 2,5% kemudian akan bertarung memperebutkan kursi disetiap daerah pemilihan (pasal 205). Lantas bagaimana nasib partai-partai yang memperoleh suara kurang dari 2,5%? Partai-partai ini tidak akan disertakan dalam memperebutkan kursi DPR-RI disetiap dapil. Dengan demikian perolehan suara disetiap Dapil dianggap nol. Tahap kedua perhitungan kemudian dilanjutkan dengan menghitung perolehan suara partai-partai yang lolos 2,5% disetiap dapil. Tahap ini akan menghasilkan suara sah baru disetiap dapil, dan rembetannya adalah BPP baru pula. BPP baru ini jelas akan lebih kecil karena suara sahnya dikurangi dengan suara sah partai yang tidak lolos 2,5%. Partai yang turut dalam pembagian kursi disetiap dapil masuk ketahap perhitungan ketiga yaitu bila perolehan suaranya sama dengan atau lebih besar BPP akan memperoleh kursi tahap pertama. Sisa suaranya akan masuk dalam penghitungan tahap keempat, yaitu bila sisa suara sama dengan atau lebih besar dari 50% BPP akan memperoleh kursi tahap kedua (kalau masih tersisa). Sisa suara kurang dari 50% BPP akan ditarik ke provinsi untuk dikumpulkan bersama-sama dari dapil-dapil diprovinsi tersebut berikut sisa kursi yang belum habis terbagi. Jumlah sisa suara setiap partai dari seluruh dapil diprovinsi tersebut akan membentuk suara sah baru, dengan jumlah sisa kursi dan akan menghasilkan BPP baru. Pada umumnya nilai BPP cukup tinggi. Inilah penghitungan tahap kelima yang akan memperhatikan apakah jumlah sisa suara sama dengan atau lebih dari BPP baru ini. Bila ya, maka kursi tahap ketiga akan dibagikan kepada partai yang memiliki sisa suara sama dengan atau lebih besar dari BPP baru. Secara teoritis, agak sulit sisa suara partai dapat mencapai BPP baru ini. Akibatnya tahapan akan berakhir disini, dengan membagi habis sisa kursi yang dikumpulkan ditingkat provinsi kepada partai dimulai dengan jumlah sisa suara yang paling banyak berturut turut.
Kalau ada pembagian kursi ditingkat provinsi, pertanyaannya adalah kursi untuk dapil manakah itu? Menurut UU No.10/2008, kursi tahap ketiga pada penghitungan tahap kelima akan diberikan pada dapil yang belum cukup kursinya sesuai dengan alokasi yang telah ditetapkan (pasal 208). Yang nanti mungkin akan jadi permasalahan adalah bahwa ada dapil yang menyumbang sisa suara lebih banyak, tetapi alokasi kursinya sudah cukup. Dengan demikian bisa saja terjadi dapil penyumbang suara lebih kecil akan mendapatkan sisa kursi terakhir tersebut. Secara umum hal ini sudah diatur oleh UU. Namun masalah ini akan merembet menjadi masalah internal partai. Karena secara internal, sisa suara yang dikumpulkan ditingkat provinsi dapat dianggap sebagai milik partai, bukan lagi milik dapil. Paradoks inilah kelak yang akan menuai masalah. Disatu pihak sisa kursi adalah milik dapil yang belum cukup alokasinya, dilain pihak kursi tersebut merupakan konversi dari sisa suara seluruh dapil. Dengan demikian sebenarnya dapil yang menerima sisa kursi tidak dapat mengklaim bahwa kursi tersebut berasal dari kumulatif sisa suara didapil yang bersangkutan. Rumit? Jawabnya adalah sangat rumit, apalagi dampak dari metode penghitungan ini dapat menuai masalah baru dalam penetapan perolehan suara. dan ini hanya berlaku bagi penetapan kursi DPR, tidak mencakup DPRD Provinsi ataupun Kabupaten/Kota. Memang perlu langkah kontroversial dengan me-judicial review-kan bab tentang penetapan kursi. Mari kita tunggu.

31 January 2009

Daerah Pemilihan DPR-RI

Lampiran UU No.10 tahun 2008 memang mencantumkan bahwa daerah pemilihan (dapil) DPR-RI berjumlah 77 dapil. Namun kita tidak menyadari bahwa sebenarnya dapil DPR-RI bukanlah 77 melainkan 91 Dapil. Tambahan 14 dapil tidak lain akibat metode penetapan perolehan kursi yang diamanatkan UU No.10/2008 pasal 205 - 208. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, maka sisa suara yang kurang dari 50% BPP dan sisa kursi yang belum habis terbagi akan dikumpulkan di provinsi. Jumlah sisa suara dan sisa kursi yang dikumpulkan di provinsi dari dapil-dapil diprovinsi tersebut akan membentuk jumlah suara sah , alokasi kursi dan nilai BPP baru.
Hal ini berarti, bahwa metode tersebut berlaku bagi provinsi yang memiliki lebih dari 1 dapil. Provinsi yang memiliki lebih dari 1 dapil berjumlah 14 provinsi. Dengan timbulnya jumlah suara, alokasi kursi dan BPP baru disatu provinsi, maka secara tidak langsung, metode ini akan menghasilkan 14 dapil baru. Itulah sebabnya dapil DPR-RI sebenarnya bukan berjumlah 77 seperti yang kita ketahui, melainkan 91 dapil. Metode ini akan menimbulkan masalah baru bagi partai. Kalaulah pasal 208 mengisyaratkan bahwa kursi yang dibagi ditingkat provinsi tersebut akan diberikan pada dapil yang masih kurang dari kuotanya, namun yang akan menimbulkan masalah adalah manakala dapil yang mendapatkan sisa kursi dari tingkat provinsi, ternyata diterima oleh partai didapil tersebut tetapi menyumbang sisa suara paling kecil. Ini mungkin yang harus diantisipasi oleh setiap partai. Paling tidak sosialisasi setiap partai kepada para calegnya harus sejelas mungkin, untuk menghindari protes dari para caleg. Secara hitungan matematis partai tidak dirugikan. Akan tetapi karena penetapan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak, maka metode ini akan akan menimbulkan masalah tersendiri bagi caleg. Untuk itulah, baik peranan KPU maupun partai sangat dominan untuk mengatasi masalah yang dapat timbul akibat ulah isi UU tentang metode penetapan perolehan kursi. Semoga hal ini tidak akan menambahi kerumitan pemilu 2009 yang akan datang. Dan tidak menjadi beban tambahan bagi Mahkamah Konstitusi akibat membludaknya gugatan-gugatan baik dari partai maupun caleg.

30 January 2009

Pro dan Kontra Golput

Kompas 12 Januari 2009 dalam arikelnya tentang pemilu 2009 menulis bahwa potensi golput secara administratif tetap besar. Kenapa golput diprediksi akan meningkat dibandingkan pada pemilu sebelumnya? Menurut pengamat politik dari Fisip Universitas Gajah Mada, Arie Sujito, peningkatan ini diakibatkan akumulasi kekecewaan masyarakat terhadap partai politik. Parpol lebih mementingkan perluasan kekuasaan ketimbang memperjuangkan kepentingan masyarakat, tandasnya. Berdasarkan data yang ada, peningkatan paling tajam adalah antara pemilu 1999 dan 2004. Pada pemilu 1999 golput masih berada pada kisaran 10,40% dari pemilih terdaftar. Tetapi pada pemilu 2004 meningkat drastis menjadi 23,34%. Ini artinya suara sah pada pemilu legislatif 2004 hanyalah 76,66% dari pemilih terdaftar. Sebenarnya, semakin tinggi tingkat golput, maka akan semakin murah nilai kursi yang akan diraih oleh partai. Dan ini akan lebih mempermudah bagi partai untuk meraih perolehan kursi. Kenapa demikian, karena semakin besar tingkat golput maka akan semakin kecil jumlah suara sah. Dan bila jumlah suara sah semakin kecil, maka tingkat BPP-nyapun akan semakin kecil. Ini artinya akan mempermudah bagi partai-partai besar yang dominan disatu daerah pemilihan untuk merebut kursi sebanyak-banyaknya. Dengan adanya Parliamentary Threshold (PT) sebesar 2,5% dari suara sah seperti yang termaktub dalam UU No.10/2008, maka suara partai-partai yang tidak lolos akan dihanguskan, sehingga akan memperkecil lagi jumlah suara sah baru dan hal ini kembali akan memperkecil nilai BPP 1 kursi. Ajakan untuk menjadi golput, bukan saja tidak mendidik, tapi juga akan memberi peluang lebih besar kepada partai-partai (terutama partai besar seperti Golkar, PDIP) untuk memperoleh kursi yang lebih banyak. Selain itu juga akan mempersulit partai-partai kecil untuk memperoleh kursi, karena hal ini akan membuka peluang partai besar untuk memperoleh kursi pada pembagian kursi tahap I dan bisa saja pembagian kursi tersebut akan menyisakan 1-2 kursi saja yang akan diperebutkan pada perhitungan pembagian kursi tahap II. Apalagi tahap ke 2 ini akan memprioritaskan partai-partai yang sisa suaranya sama atau lebih besar dari 50% BPP. Kurang dari itu, maka sisa suara akan ditarik ke provinsi (bagi provinsi yang memiliki 2 dapil atau lebih). Jadi, ajakan untuk menjadi golput, menurut hemat saya hanyalah akan membuka peluang lebih besar bagi partai-partai besar untuk merebut kursi lebih banyak. Bila ajakan golput dianggap sebagai bentuk kekecewaan, maka hal tersebut sangat tidak effektif. Justru bila masih ada kekecewaan terhadap partai, maka pencegahannya adalah melalui peningkatan suara sah atau dengan kata lain, memperkecil tingkat golput. Bila hal ini dilakukan, maka partai-partai akan semakin sulit memperoleh kursi, dan dominasi partai besarpun dapat dimbangi oleh partai-partai kecil maupun menengah. Semoga hal ini tidak terjadi, bila maksud ajakan tersebut adalah rasa kecewa. Salam pemilu.

27 January 2009

Putusan MK merupakan tamparan keras bagi DPR

Ibarat petinju, DPR memang petinju tangguh, tapi bermuka tebal, hook MK kerahangnya dan sudah dinyatakan ko, tapi tetap saja seolah mampu menguasai ring. Inilah kenyataan yang harus kita hadapi dalam menilai kinerja anggota dewan yang terhormat. Seharusnya, UU tersebut tidak harus kalah dalam judicial review, bila UU dibuat secara cermat. Ini baru menimpa pasal tentang penetapan calon terpilih. Kalau mau lebih dalam lagi, mari kita lihat masalah alokasi kursi. Alokasi kursi DPR tak menjadi kendala. Semuanya sesuai yang digariskan oleh UU. Malah agar tak dirubah-rubah nantinya, ketentuan alokasi kursinya menjadi lampiran yang tidak terpisahkan dari UU. Kenapa menjadi lampiran, karena menyangkut kepentingan DPR. Tapi manakala menyangkut DPRD, baik provinsi maupun Kabupaten/Kota, atur oleh KPU. Akibatnya, beberapa dapil melanggar ketentuan UU. Kalaulah pasal ini di-judicial review-kan juga, apa yang akan terjadi? Apakah juga akan dibatalkan? Tak satupun manusia yang berminat membuka borok ini. Tak terbayangkan bila pemilu legislatif di dapil kota Mojokerto 2 yang beralokasi kursi 14 atau kota Batu 1 dengan alokasi kursi 14 dibatalkan karena melanggar UU No.10/2008 pasal 29 (2). Ini baru Jawa Timur, masih banyak lagi dapil-dapil yang melanggar ketentuan UU. Pertanyaannya adalah akan dibawa kemana bangsa ini? Kenapa kita selalu diajar untuk berbuat curang? Mencurangi diri sendiri? Harapan tak lain, agar kelak saat anggota dewan hasil pemilu 2009 dilantik, tak lagi akan mengecewakan. Semoga pengalaman ini menjadikan kita lebih arif dan bijak dan tak akan terulang.