01 February 2009

Rumitnya Penetapan Perolehan Kursi DPR-RI

UU No.10/2008 tentang Pemilu Legislatif merupakan rujukan yang dipakai dalam menetapkan perolehan kursi DPR-RI yang diperebutkan oleh partai-partai peserta pemilu tahun 2009. Khusus untuk DPR-RI metode penghitungannya memang agak rumit, bila dibandingkan dengan metode yang dipakai pada pemilu 2004. Secara garis besarnya, ada beberapa tahapan dalam penghitungan penetapan perolehan kursi DPR-RI. Yang pertama adalah tahapan penghitungan untuk menetapkan partai-partai yang berhak untuk turut dalam pembagian kursi. Tahapan berikutnya adalah penghitungan penetapan perolehan kursi bagi partai-partai yang lolos setelah melalui tahap pertama dengan memakai metode kuota.

Tahap pertama sesuai dengan UU adalah partai peserta pemilu harus memperoleh suara minimal 2,5% dari total suara sah secara nasional (pasal 202). Partai-partai yang memperoleh dukungan suara sama dengan atau lebih dari 2,5% kemudian akan bertarung memperebutkan kursi disetiap daerah pemilihan (pasal 205). Lantas bagaimana nasib partai-partai yang memperoleh suara kurang dari 2,5%? Partai-partai ini tidak akan disertakan dalam memperebutkan kursi DPR-RI disetiap dapil. Dengan demikian perolehan suara disetiap Dapil dianggap nol. Tahap kedua perhitungan kemudian dilanjutkan dengan menghitung perolehan suara partai-partai yang lolos 2,5% disetiap dapil. Tahap ini akan menghasilkan suara sah baru disetiap dapil, dan rembetannya adalah BPP baru pula. BPP baru ini jelas akan lebih kecil karena suara sahnya dikurangi dengan suara sah partai yang tidak lolos 2,5%. Partai yang turut dalam pembagian kursi disetiap dapil masuk ketahap perhitungan ketiga yaitu bila perolehan suaranya sama dengan atau lebih besar BPP akan memperoleh kursi tahap pertama. Sisa suaranya akan masuk dalam penghitungan tahap keempat, yaitu bila sisa suara sama dengan atau lebih besar dari 50% BPP akan memperoleh kursi tahap kedua (kalau masih tersisa). Sisa suara kurang dari 50% BPP akan ditarik ke provinsi untuk dikumpulkan bersama-sama dari dapil-dapil diprovinsi tersebut berikut sisa kursi yang belum habis terbagi. Jumlah sisa suara setiap partai dari seluruh dapil diprovinsi tersebut akan membentuk suara sah baru, dengan jumlah sisa kursi dan akan menghasilkan BPP baru. Pada umumnya nilai BPP cukup tinggi. Inilah penghitungan tahap kelima yang akan memperhatikan apakah jumlah sisa suara sama dengan atau lebih dari BPP baru ini. Bila ya, maka kursi tahap ketiga akan dibagikan kepada partai yang memiliki sisa suara sama dengan atau lebih besar dari BPP baru. Secara teoritis, agak sulit sisa suara partai dapat mencapai BPP baru ini. Akibatnya tahapan akan berakhir disini, dengan membagi habis sisa kursi yang dikumpulkan ditingkat provinsi kepada partai dimulai dengan jumlah sisa suara yang paling banyak berturut turut.
Kalau ada pembagian kursi ditingkat provinsi, pertanyaannya adalah kursi untuk dapil manakah itu? Menurut UU No.10/2008, kursi tahap ketiga pada penghitungan tahap kelima akan diberikan pada dapil yang belum cukup kursinya sesuai dengan alokasi yang telah ditetapkan (pasal 208). Yang nanti mungkin akan jadi permasalahan adalah bahwa ada dapil yang menyumbang sisa suara lebih banyak, tetapi alokasi kursinya sudah cukup. Dengan demikian bisa saja terjadi dapil penyumbang suara lebih kecil akan mendapatkan sisa kursi terakhir tersebut. Secara umum hal ini sudah diatur oleh UU. Namun masalah ini akan merembet menjadi masalah internal partai. Karena secara internal, sisa suara yang dikumpulkan ditingkat provinsi dapat dianggap sebagai milik partai, bukan lagi milik dapil. Paradoks inilah kelak yang akan menuai masalah. Disatu pihak sisa kursi adalah milik dapil yang belum cukup alokasinya, dilain pihak kursi tersebut merupakan konversi dari sisa suara seluruh dapil. Dengan demikian sebenarnya dapil yang menerima sisa kursi tidak dapat mengklaim bahwa kursi tersebut berasal dari kumulatif sisa suara didapil yang bersangkutan. Rumit? Jawabnya adalah sangat rumit, apalagi dampak dari metode penghitungan ini dapat menuai masalah baru dalam penetapan perolehan suara. dan ini hanya berlaku bagi penetapan kursi DPR, tidak mencakup DPRD Provinsi ataupun Kabupaten/Kota. Memang perlu langkah kontroversial dengan me-judicial review-kan bab tentang penetapan kursi. Mari kita tunggu.