31 January 2009

Daerah Pemilihan DPR-RI

Lampiran UU No.10 tahun 2008 memang mencantumkan bahwa daerah pemilihan (dapil) DPR-RI berjumlah 77 dapil. Namun kita tidak menyadari bahwa sebenarnya dapil DPR-RI bukanlah 77 melainkan 91 Dapil. Tambahan 14 dapil tidak lain akibat metode penetapan perolehan kursi yang diamanatkan UU No.10/2008 pasal 205 - 208. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, maka sisa suara yang kurang dari 50% BPP dan sisa kursi yang belum habis terbagi akan dikumpulkan di provinsi. Jumlah sisa suara dan sisa kursi yang dikumpulkan di provinsi dari dapil-dapil diprovinsi tersebut akan membentuk jumlah suara sah , alokasi kursi dan nilai BPP baru.
Hal ini berarti, bahwa metode tersebut berlaku bagi provinsi yang memiliki lebih dari 1 dapil. Provinsi yang memiliki lebih dari 1 dapil berjumlah 14 provinsi. Dengan timbulnya jumlah suara, alokasi kursi dan BPP baru disatu provinsi, maka secara tidak langsung, metode ini akan menghasilkan 14 dapil baru. Itulah sebabnya dapil DPR-RI sebenarnya bukan berjumlah 77 seperti yang kita ketahui, melainkan 91 dapil. Metode ini akan menimbulkan masalah baru bagi partai. Kalaulah pasal 208 mengisyaratkan bahwa kursi yang dibagi ditingkat provinsi tersebut akan diberikan pada dapil yang masih kurang dari kuotanya, namun yang akan menimbulkan masalah adalah manakala dapil yang mendapatkan sisa kursi dari tingkat provinsi, ternyata diterima oleh partai didapil tersebut tetapi menyumbang sisa suara paling kecil. Ini mungkin yang harus diantisipasi oleh setiap partai. Paling tidak sosialisasi setiap partai kepada para calegnya harus sejelas mungkin, untuk menghindari protes dari para caleg. Secara hitungan matematis partai tidak dirugikan. Akan tetapi karena penetapan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak, maka metode ini akan akan menimbulkan masalah tersendiri bagi caleg. Untuk itulah, baik peranan KPU maupun partai sangat dominan untuk mengatasi masalah yang dapat timbul akibat ulah isi UU tentang metode penetapan perolehan kursi. Semoga hal ini tidak akan menambahi kerumitan pemilu 2009 yang akan datang. Dan tidak menjadi beban tambahan bagi Mahkamah Konstitusi akibat membludaknya gugatan-gugatan baik dari partai maupun caleg.

30 January 2009

Pro dan Kontra Golput

Kompas 12 Januari 2009 dalam arikelnya tentang pemilu 2009 menulis bahwa potensi golput secara administratif tetap besar. Kenapa golput diprediksi akan meningkat dibandingkan pada pemilu sebelumnya? Menurut pengamat politik dari Fisip Universitas Gajah Mada, Arie Sujito, peningkatan ini diakibatkan akumulasi kekecewaan masyarakat terhadap partai politik. Parpol lebih mementingkan perluasan kekuasaan ketimbang memperjuangkan kepentingan masyarakat, tandasnya. Berdasarkan data yang ada, peningkatan paling tajam adalah antara pemilu 1999 dan 2004. Pada pemilu 1999 golput masih berada pada kisaran 10,40% dari pemilih terdaftar. Tetapi pada pemilu 2004 meningkat drastis menjadi 23,34%. Ini artinya suara sah pada pemilu legislatif 2004 hanyalah 76,66% dari pemilih terdaftar. Sebenarnya, semakin tinggi tingkat golput, maka akan semakin murah nilai kursi yang akan diraih oleh partai. Dan ini akan lebih mempermudah bagi partai untuk meraih perolehan kursi. Kenapa demikian, karena semakin besar tingkat golput maka akan semakin kecil jumlah suara sah. Dan bila jumlah suara sah semakin kecil, maka tingkat BPP-nyapun akan semakin kecil. Ini artinya akan mempermudah bagi partai-partai besar yang dominan disatu daerah pemilihan untuk merebut kursi sebanyak-banyaknya. Dengan adanya Parliamentary Threshold (PT) sebesar 2,5% dari suara sah seperti yang termaktub dalam UU No.10/2008, maka suara partai-partai yang tidak lolos akan dihanguskan, sehingga akan memperkecil lagi jumlah suara sah baru dan hal ini kembali akan memperkecil nilai BPP 1 kursi. Ajakan untuk menjadi golput, bukan saja tidak mendidik, tapi juga akan memberi peluang lebih besar kepada partai-partai (terutama partai besar seperti Golkar, PDIP) untuk memperoleh kursi yang lebih banyak. Selain itu juga akan mempersulit partai-partai kecil untuk memperoleh kursi, karena hal ini akan membuka peluang partai besar untuk memperoleh kursi pada pembagian kursi tahap I dan bisa saja pembagian kursi tersebut akan menyisakan 1-2 kursi saja yang akan diperebutkan pada perhitungan pembagian kursi tahap II. Apalagi tahap ke 2 ini akan memprioritaskan partai-partai yang sisa suaranya sama atau lebih besar dari 50% BPP. Kurang dari itu, maka sisa suara akan ditarik ke provinsi (bagi provinsi yang memiliki 2 dapil atau lebih). Jadi, ajakan untuk menjadi golput, menurut hemat saya hanyalah akan membuka peluang lebih besar bagi partai-partai besar untuk merebut kursi lebih banyak. Bila ajakan golput dianggap sebagai bentuk kekecewaan, maka hal tersebut sangat tidak effektif. Justru bila masih ada kekecewaan terhadap partai, maka pencegahannya adalah melalui peningkatan suara sah atau dengan kata lain, memperkecil tingkat golput. Bila hal ini dilakukan, maka partai-partai akan semakin sulit memperoleh kursi, dan dominasi partai besarpun dapat dimbangi oleh partai-partai kecil maupun menengah. Semoga hal ini tidak terjadi, bila maksud ajakan tersebut adalah rasa kecewa. Salam pemilu.

27 January 2009

Putusan MK merupakan tamparan keras bagi DPR

Ibarat petinju, DPR memang petinju tangguh, tapi bermuka tebal, hook MK kerahangnya dan sudah dinyatakan ko, tapi tetap saja seolah mampu menguasai ring. Inilah kenyataan yang harus kita hadapi dalam menilai kinerja anggota dewan yang terhormat. Seharusnya, UU tersebut tidak harus kalah dalam judicial review, bila UU dibuat secara cermat. Ini baru menimpa pasal tentang penetapan calon terpilih. Kalau mau lebih dalam lagi, mari kita lihat masalah alokasi kursi. Alokasi kursi DPR tak menjadi kendala. Semuanya sesuai yang digariskan oleh UU. Malah agar tak dirubah-rubah nantinya, ketentuan alokasi kursinya menjadi lampiran yang tidak terpisahkan dari UU. Kenapa menjadi lampiran, karena menyangkut kepentingan DPR. Tapi manakala menyangkut DPRD, baik provinsi maupun Kabupaten/Kota, atur oleh KPU. Akibatnya, beberapa dapil melanggar ketentuan UU. Kalaulah pasal ini di-judicial review-kan juga, apa yang akan terjadi? Apakah juga akan dibatalkan? Tak satupun manusia yang berminat membuka borok ini. Tak terbayangkan bila pemilu legislatif di dapil kota Mojokerto 2 yang beralokasi kursi 14 atau kota Batu 1 dengan alokasi kursi 14 dibatalkan karena melanggar UU No.10/2008 pasal 29 (2). Ini baru Jawa Timur, masih banyak lagi dapil-dapil yang melanggar ketentuan UU. Pertanyaannya adalah akan dibawa kemana bangsa ini? Kenapa kita selalu diajar untuk berbuat curang? Mencurangi diri sendiri? Harapan tak lain, agar kelak saat anggota dewan hasil pemilu 2009 dilantik, tak lagi akan mengecewakan. Semoga pengalaman ini menjadikan kita lebih arif dan bijak dan tak akan terulang.

UU Pemilu Bermasalah

UU No.10/2008 tentang Pemilu Legislatif yang dirancang dan disahkan oleh DPR, ternyata amburadul. MK membatalkan salah satu pasal yang dianggap tidak relevan dengan jiwa UUD 1945. Belum lagi isinya, yang kalau dikaji lebih lanjut, sangat memalukan. UU dibuat untuk dilanggar. Lihatlah batasan alokasi kursi DPRD Provinsi atau Kabupaten/Kota. Berapa banyak daerah pemilihan (dapil) yang melanggar batasan alokasi 3-12 kursi perdapil seperti yang diamanatkan UU. Ini baru sebagian kecil dari kesemerawutan isi UU, yang telah menghabiskan dana yang tidak sedikit. Semuanya menunjukkan kualitas UU yang asal jadi. Apa komentar DPR tentang hasil karya mereka ini? Tak satupun yang berkomentar. Tak ada rasa bersalah, ataupun penyesalan. Seolah tak menjadi soal pokok. Yang penting sudah berkarya, soal kualitas, urusan lain. Padahal UU inilah yang akan menjadi payung hukum pemilu legislatif 2009. Pemilu adalah pilar demokrasi. Kalau payung hukumnya bermasalah, apakah pilar itu kemudian tidak akan bermasalah dikemudian hari? Kalaulah dianggap bahwa KPU kemudian dapat memayungi masalah demi masalah yang timbul, bukankah KPU tak lebih dari satu event organizer, yang bertindak sebatas penyelenggara? Semuanya berawal dari pembuatan UU yang hanya mementingkan golongan, bukan kepentingan bangsa ini, yang mulai merasakan bahwa demokrasi mutlak untuk dimiliki. Salam hangat.