05 June 2009

TINJAUAN ATAS RUMITNYA METODE PENETAPAN KURSI PEMILU LEGISLATIF 2009 MENJADI KENYATAAN

Apa yang pernah saya tulis tentang rumitnya metode penetapan kursi pada pemilu legislatif 2009 akhirnya menjadi kenyataan. Kerumitan terjadi terutama pada penetapan kursi tahap 3 atau yang dikenal dengan sisa kursi dan sisa suara yang ditarik ke provinsi.
Pada rapat pleno KPU untuk menetapkan perolehan kursi setiap partai dan calon terpilih, timbul pelbagai tafsir dan komentar. Kenapa hal ini bisa terjadi? Ini tidak lain disebabkan oleh pasal-pasal dalam UU No.10/2008 yang mengatur tentang metode penetapan kursi pada tahap 3 dan 4, tidak jelas. Baik pembuat UU yaitu DPR dan Pemerintah, maupun KPU sebagai pelaksana tidak pernah mengantisipasi bahwa teknis penerapan metode tersebut saat diaplikasikan, akan menjadi masalah besar pada pemilu kali ini.
Ketidak jelasan isi pasal dalam UU No.10/2008 tentang metode ini, akhirnya hanya melahirkan polemik dan fitnah. Cetro malah mengindikasikan adanya main mata antara saksi partai dan KPU dalam penentuan sisa kursi bagi partai pada satu dapil. Cetro menganggap bahwa sisa kursi dari provinsi untuk satu dapil tertentu bagi satu partai adalah hasil kompromi politik. Anggapan tersebut memang sah-sah saja, meskipun patut disayangkan bahwa lembaga sekelas Cetro berpikir sependek itu. Seandainya Cetro terlibat, bukan tidak mungkin Cetro-pun tak akan mampu menghadapi permasalahan yang timbul.
Permasalahan menjadi semakin rumit tak kala rujukan tentang verifikasi vertikal-horizontal tak ditemui penjelasan maupun asal usulnya baik dalam UU maupun peraturan KPU. Verifikasi ini justru timbul saat satu partai yang kebagian kursi sisa menyatakan bahwa kursi tersebut paling layak kedapil tertentu. UU maupun peraturan KPU hanya merujuk verifikasi horizontal, yaitu memverifikasi sisa suara partai tersebut disetiap dapil. Implikasinya adalah, saat verifikasi menyatakan bahwa sisa suara terbanyak partai tersebut pada satu dapil tertentu, maka timbul kemungkinan bahwa sisa suara tersebut bukannya sisa suara terbanyak diantara partai-partai yang memperoleh sisa kursi. Artinya timbul verifikasi kedua yaitu verifikasi vertikal. Bila verifikasi horizontal adalah perebutan secara internal, maka horizontal adalah perebutan antar partai. Inilah malapetaka yang terjadi.
Metode penetapan yang dipakai oleh KPU dalam menentukan partai yang berhak memperoleh sisa kursi akan sangat berpengaruh pada perangkingan total sisa suara yang ditarik ke provinsi. Penetapan metode yang dipakai, apakah semua sisa suara setiap partai disemua dapil tanpa mengindahkan masih ada sisa kursi atau tidak, atau hanya sisa suara pada dapil yang masih ada sisa kursi, tetap akan menemui masalah verifikasi diatas. Belum lagi bila kita membicarakan bahwa setiap metode akan mempengaruhi perankingan dan perangkingan akan mempengaruhi dapil yang memiliki kesempatan memperoleh sisa kursi serta terakhir berarti juga akan mempengaruhi caleg terpilih. Kericuhanpun meluas. Perang antar caleg yang saling klaim bahwa dialah yang paling berhak ketimbang yang lain.
Dari sini dapatlah disimpulkan bahwa metode yang termaktub dalam UU No.10/2008, tidak hanya sekedar mencari jalan keluar bagaimana agar sisa suara sebanyak mungkin dapat terkonversi menjadi kursi, tapi juga harus jelas marwah apa yang dikehendaki anggota dewan pada saat itu terhadap UU pemilu yang mereka buat. Ini juga mengindikasikan bahwa UU No.10/2008 memang asal buat. Tugas berat bagi para anggota dewan terpilih untuk berbenah, agar UU pemilu benar-benar buah karya putra terbaik, yang dipersembahkan untuk bangsanya sebagai landasan hukum dalam menegakkan pilar demokrasi yang bernama pemilu.

No comments:

Post a Comment