22 June 2009

KEPUTUSAN MK, KEPUTUSAN SETENGAH HATI

Amar putusan MK atas gugatan 5 partai yaitu PAN, Golkar, PPP, Gerindra dan PKB mengenai metode penghitungan suara tahap III, masih akan menyisakan keruwetan. Meskipun MK dalam 5 poin putusannya jelas menyatakan bahwa penerapan pasal 205 ayat (5), ayat (6) dan ayat (7) UU No.10/2008 oleh KPU yang tertuang dalam SK No.259/KPU/TAHUN 2009 adalah keliru dan tidak tepat menurut hukum, namun amar putusan tersebut juga tidak serta merta menyelesaikan masalah. KPU tampaknya harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan MK sebelum menjalankan perintah MK tersebut. Beberapa hal yang patut dicermati adalah bahwa "kekeliruan" KPU dalam menafsirkan UU No.10/2008 khususnya pasal 205, juga beralasan, karena UU tersebut juga tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan "seluruh sisa suara partai politik". Apakah yang dimaksud adalah seluruh sisa suara tersebut berasal dari seluruh daerah pemilihan atau hanya dari seluruh daerah pemilihan yang masih memiliki sisa kursi. UU No.10/2008 dalam penjelasannya terhadap pasal tersebut hanya berbunyi : cukup jelas.


Atas perintah UU juga KPU kemudian menuangkannya dalam peraturan No.15 tahun 2009 dan peraturan N0.26 tahun 2009, yang kemudian penerapan aturan tersebut dianggap beberapa partai sebagai satu kekeliruan dalam penafsiran untuk penetapan perolehan kursi. Dalam amar putusannya MK kemudian menyatakan bahwa penerapan pasal 205 yang benar adalah seluruh sisa suara sah partai politik yaitu suara yang belum diperhitungkan dalam tahap I dan tahap II dari seluruh daerah pemilihan provinsi (poin 3 No.3),tanpa menjelaskan berasal dari mana seluruh sisa suara sah tersebut.


Bila dicermati, kekeliruan yang ditudingkan kepada KPU berawal pada penafsiran kata seluruh daerah pemilihan dalam provinsi, yang oleh KPU ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan seluruh daerah pemilihan adalah seluruh daerah pemilihan yang masih memiliki sisa kursi. Bila kemudian mengacu kepada amar keputusan tersebut, yang juga tidak jelas, maka kemungkinan bahwa akan terjadi kekeliruan lagi sangat mungkin sekali. Yang berat adalah bahwa putusan MK tersebut bersifat final dan mengikat. Ini berarti apapun yang akan diterapkan oleh KPU sifatnya juga akan final dan mengikat.


Kalaulah MK lebih tegas dan gamblang dalam memberikan putusannya, persoalan mungkin akan lain. Terlebih lagi dalam amar putusan tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan sisa suara adalah sisa suara yang berasal dari seluruh daerah pemilihan, baik yang masih ada sisa kursi maupun yang sudah habis teralokasi. Dengan demikian tidak akan lagi ada penafsiran yang berbeda mengenai asal muasal sisa suara yang akan dikumpulkan ditingkat provinsi.


Amar putusan MK yang harus dilaksanakan oleh KPU, memang seolah bola panas yang harus diterima oleh KPU. Setidaknya KPU harus berkomunikasi lebih rinci tentang amar putusan tersebut. Salah-salah memang KPU-lah yang akan menerima caci maki berkepanjangan nantinya.


Meskipun hingga saat ini KPU belum menindak lanjuti amar putusan tersebut, beberapa partai mulai menghitung kembali perolehan kursi mereka, terutama bila yang dimaksud adalah sisa suara dari seluruh daerah pemilihan, baik yang masih ada sisa kursi maupun yang sudah terpenuhi alokasi kursinya. Akan segampang itukah bagi partai-partai yang harus kehilangan kursi akibat perubahan metode ini menerimanya? Ataukah kemudian persoalan akan berlanjut diarena lain, seperti PTUN atau MA? Semuanya masih merupakan teka-teki yang belum dapat dijawab.


Bila mau jujur melihat permasalahan ini, hingga detik ini tak ada yang mencoba mengkaji kenapa hal ini terjadi. Sumber malapetakanya tidak lain adalah ketidak jelasan UU No.10/2008 dalam memberikan aturan-aturan dalam penerapan metode penetapan perolehan kursi, terutama yang menyangkut tahap III (metode penetapan perolehan sisa kursi yang ditarik ke provinsi). Padahal penghitungan tidak berhenti pada tahap III saja, pada saat jumlah sisa suara partai ada yang mencapai BPP baru, dan masih tersisa sisa kursi yang belum terbagi habis, maka penghitungan berlanjut ketahap IV. Kekelirusan UU No.10/2008 yang tidak menjelaskan dalam penjelasannya tentang asal muasal sisa suara yang dikumpulkan berasal dari dapil mana, semakin menjelaskan bahwa UU No.10/2008 telah membuat hasil pemilu legislatif 2009 semakin runyam. Dan anehnya memang, tak ada satupun yang menggugat siapa yang layak dan patut dimintakan pertanggung jawabannya, dan DPR sebagai pembuat UU bersama pemerintah seolah bungkam. Tinggallah KPU yang menjadi kambing hitam untuk disalahkan, seolah tak becus menyelenggarakan pemilu legislatif 2009 ini. Padahal KPU adalah penyelenggara tok, tak lebih dan tak kurang.


Pengalaman ini sebenarnya merupakan tamparan keras bagi DPR atas kinerja mereka membuat UU yang seharusnya mampu memayungi semua keputusan tentang pemilu legislatif 2009. Kalaulah KPU memang dianggap bersalah, maka dosa besar patut dijatuhkan pada KPU, karena telah melanggar UU. Namun MK tampaknya juga menyadari hal ini, bahwa KPU bukan pelanggar UU. KPU hanya dianggap keliru dan tidak tepat secara hukum.


Kekeliruan demi kekeliruan akan bergulir terus, dan kini saatnya kita harus berbenah. Tugas berat bagi anggota DPR terpilih kelak untuk membenahi UU pemilu yang tidak lagi akan menjadi malapetaka bagi bangsa ini dalam melaksanakan pemilunya. Pengalaman ini hendaknya menjadi cermin bagi anggota DPR, bahwa apa yang dihasilkannya masih jauh dari harapan. Semoga.



No comments:

Post a Comment