03 August 2009

KEPUTUSAN MA TELAH MENGUBAH WARNA PEMILU

Bahwasanya keputusan Mahkamah Agung harus dilaksanakan semuanya mahfum. Keputusan peradilan yang harus kita hormati. Namun, bila disimak lebih jauh, apa yang dilakukan oleh MA dengan merevisi Keputusan KPU tentang penetapan perolehan kursi partai peserta pemilu karena bertentangan dengan UU No.10/2008 terutama pasal 205 ayat (4), mempunyai dampak luas dan luar biasa. Warna pemilu legislatif 2009 akan berubah.


Apa yang dilakukan MA atas uji materi keputusan KPU terhadap UU No.10/2008 secara hukum sangat benar. Pasal 205 ayat (4) memang berbunyi :............memperoleh suara sekurang-kurangnya 50% dari BPP. Padahal yang dimaksud oleh sang pembuat UU kalimat tersebut seharusnya berbunyi : ............memperoleh sisa suara sekurang-kurangnya 50% dari BPP. Tertinggalnya penulisan kata sisa dalam ayat tersebut ternyata berdampak besar. Kalau pendukung putusan MA mengatakan bahwa MA tidak mengutik-utik masalah perolehan kursi, juga ada benarnya. Namun yang dilupakan adalah dampak. Jadi sangat janggal bila masalah penelaahan ini hanya dikaitkan pada amar putusan itu an sich.


Masalah UU pemilu tidak hanya dapat ditelaah melalui masalah hukum semata. Dalam UU tersebut berbaur pelbagai aspek, mulai dari hukum tata negara, ilmu pemilu hingga kemasalah matematika pemilu. Kesemua aspek ini tidaklah dapat berdiri sendiri-sendiri. Mereka merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan begitu saja. Dengan demikian seharusnya MA juga mempertimbangkan aspek lain. Perbedaan antara yang tersurat dan tersirat. Kalau MA memang masih dianggap satu badan peradilan yang mampu bersikap adil.


Dalam UU pemilu jelas terungkap bahwa sistem pemilu legislatif 2009 yang dianut adalah proporsional terbuka (pasal 5 ayat (1)). Ini artinya sistem tersebut mengakomodir multi partai. Hal ini sesuai dengan jiwa UU tersebut yang masih menganut paham untuk mengakomodir segala lapisan agar terwakilkan di legislatif meskipun terbatas karena adanya ambang batas perolehan suara secara nasional bagi seluruh peserta pemilu yaitu sebesar 2,5% (pasal 202 ayat (1)). Ambang batas ini, kalau dihitung secara matematis akan mengharuskan peserta pemilu untuk memperoleh suara minimal 4.725.000 suara dari 171 juta pemilih terdaftar. Perolehan suara tersebut akan menjadi lebih kecil lagi bila dikurangkan dengan suara sah (pemilih terdaftar dikurangi pemilih yang tidak menggunakan hak dan suara tidak sah).


Bangsa Indonesia yang terdiri dari pelbagai macam suku, agama dan paham politik diharapkan dapat memiliki wakilnya melalui partai-partai peserta pemilu, untuk duduk di Senayan menyuarakan aspirasi mereka. Ini jiwa yang ada pada setiap pasal dalam UU tersebut.


Dengan menjauhi sistem distrik, diharapkan bahwa sistem proporsional masih memungkinkan kelompok minoritas memiliki wakilnya di DPR. Sistem proporsional memberikan kesempatan bagi partai kecil sekalipun asal lolos dulu ambang batas perolehan suara. Sistem ini membuka peluang perolehan kursi yang proporsioal dibandingkan dengan perolehan suara. Berbeda dengan sistem distrik yang mematok mayoritas sebagai dasar perhitungan perolehan suara.


Perbedaan yang mendasar bagi kedua sistem adalah bahwa sistem proporsional mengenal bilangan pembagi pemilihan (BPP) sebagai dasar metode penghitungan dan sistem distrik tidak mengenal BPP. UU no. 10/2008 dengan jelas mencantumkan BPP, baik dalam bab Ketentuan Umum maupun pasal-pasal lain dalam UU, sehingga UU tersebut sebenarnya dengan jelas menganut metode kuota (metode penghitungan kursi dengan BPP) untuk mensinkronisasikan antara sistem dan metode.


Sistem dan metode memang harus sinkron. Bila tidak, maka akan terjadi ketidak seimbangan dan ketidak jelasan terhadap sistem yang dianut dan ini jelas-jelas merupakan pelanggaran terhadap kaidah ilmu pemilu.


Bila MA ngotot bahwa keputusan mereka adalah tepat, maka secara tidak langsung MA juga harus bertanggung jawab atas amburadulnya pemilu legislatif 2009. MA telah mengaburkan makna pemilu itu sendiri, disamping telah mengadakan perbuatan pembohongan ilmu kepada bangsa ini. Pembohongan dengan memutar balikkan kaidah pemilu dengan mengatas namakan hukum adalah satu tindakan yang tidak fair dan tidak bijak. Keputusan MA agar KPU merevisi keputusannya yang nota bene dianggap bertentangan dengan bunyi UU, akan berakibat pada berubahnya metode yang menjiwai UU itu sendiri. Penghitungan tahap II yang dimaksudkan oleh MA merupakan derivatif dari metode penghitungan kursi tanpa mengenal BPP. Metode ini jelas bertentangan dengan jiwa UU dan lebih mengarahkan penghitungan kursi gaya mayoritas. Lantas bagaimana dengan bunyi UU yang mengaksep sistem proporsional? Bukankah ini sangat bertentangan?


Campur aduk metode dan sistem akan merusak pemilu itu sendiri. Pemilu harus memiliki konsep sistem dan metode yang akan dianut. Tidak ada dalam kamus ilmu pemilu, satu sistem menganut 2 metode.


Apa yang telah diputuskan oleh KPU terasa melegakan tapi belum memuaskan. Melegakan karena KPU tidak serta merta melaksanakan keputusan MA, tapi lebih membiarkan keputusan mereka sendiri gugur dengan sendirinya setelah 9 hari sejak diputus oleh MA. Belum memuaskan, karena KPU hanya melihatnya dari kaca mata celah hukum semata. Seharusnya KPU sebagai lembaga yang kapabel juga harus menyanggahnya dari sisi ilmu pemilu. Bila ini dilakukan maka KPU secara langsung maupun tidak akan memberikan pencerahan bagi bangsa ini, termasuk kepada para pendukung keputusan MA, yang maaf, mungkin tidak mengerti masalah ini secara mendalam. Persoalan hanya lebih kepada ketidak puasan karena tidak memperoleh kursi dan menggunakan celah hukum untuk pemuas diri. Tapi dampaknya secara sosial politis tidak dihiraukan sama sekali. Dan ini merupakan letupan awal instabilisasi politik. Kalaulah ini yang terjadi, apakah pemohon uji materi atau MA mampu meredam ketidak stabilan politik akibat keputusan MA? Bukankah yang terkena dampak adalah partai-partai menengah yang berbasis Islam? Atau memang semua akibat ini tidak terpikirkan?


Hulu dari permasalahan ini semua adalah ketidak beresan pembuatan UU pemilu oleh DPR periode 2004-2009. DPR-lah yang paling bertanggung jawab atas hilangnya kata sisa dalam pasal 205 ayat (4). Namun tak ada anggota DPR yang bersuara. Kalaupun ada hanya sebatas suara pribadi. Dan dosanya seolah harus ditanggung oleh KPU sendiri. Padahal KPU hanyalah pelaksana. Dan lucunya MK-pun memutus perkara sengketa pemilu dengan dasar metode yang ditetapkan KPU.


Namun demikian, apapun juga yang telah dilakukan oleh MA, MA telah merubah warna politik melalui keputusan uji materi terhadap keputusan yang dianggap tidak sesuai dengan UU. Kalau awalnya MK menampar DPR dengan membatalkan beberapa pasal dalam UU, kini MA membuka lagi jenis borok UU pemilu. Seolah tak habis-habisnya borok UU hasil karya anggota DPR 2004-2009. Belum lagi alokasi kursi dapil yang menyalahi UU. Sayangnya tak ada yang menggubris ataupun menguji materikan hal tersebut.


Pelajaran yang sangat berharga bagi wakil-wakil rakyat terpilih. Kalaulah anda salah satu yang terkena dampak putusan MA tapi atas ketegaran KPU anda dapat duduk di Senayan, maka saat perubahan UU pemilu nanti, pengalaman yang membuat anda jantungan berminggu-minggu akan membuat anda akan lebih berhati-hati. Semoga tidak terjadi lagi. Salam


No comments:

Post a Comment